
Resensi buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial oleh Pebri Widianto

Resensi buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial oleh Pebri Widianto
Emansipasi Perempuan Sebagai Agenda Transformasi Sosial
Buku
ini ditulis oleh DR. Mansour Fakih atas dorongan lingkar diskusi dan teman
sejawatnya. Mereka adalah orang-orang yang concern
dalam pelbagai kegiatan peningkatan kesadaran terhadap keadilan sosial berbasis
gender. Buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial memaparkan gambaran
umum untuk melihat perjuangan emansipasi perempuan memperjuangan ketidakadilan
dan melakukan transformasi sosial.
Sebelum
menenalaah lebih jauh, buku ini menawarkan pemahaman yang komperhensif kepada
kita mengenai gender dan seksulitas. Seksualitas merupakan dikotomi yang
ditafsikan untuk pengelompokan manusia melalui jenis kelamin secara biologis.
Seksualitas itu seperti; perempuan bisa melahirkan, perempuan mengandung, menyusui. Kemudian laki – laki memili jakun, penis, tidak punya rahim dan lain sebagainya. Sedangkan Gender dipahami sebagai suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang berasal dari kontruksi sosial maupun kultural (H.8).
Konsep
tersebut yang akan menjelaskan kepada kita bagaimana malapetaka bagi perempuan
hadir. Dimulai dari pendidikan anak yang didapat dari keluarga mengenai apa
yang harus bisa dilakukan anak perempuan dan anak laki-laki.
Misal
anak perempuan yang baik dinilai dari apakah ia bisa menyapu, memasak, mencuci
pakaian dan berbagai hal yang berhubungan dengan urusan domestik. Sementara laki-laki
dikontruksi menjadi orang yang gagah, tidak boleh gampang menangis dll.
Kontruksi
tersebut akhirnya menjadi status quo yang menyumbang faktor terciptanya
tatanan masyarakat yang penuh ketidaksetaraan gender. Seringnya perempuan
menjadi korban dalam ketidakadilan sosial di masayarakat yang bias gender; mulai
dijadikan komoditas, dianggap lebih rendah dibanding laki-laki (streotip),
hingga menjadi korban kekerasan (termasuk sexual harassment).
Dalam
beberapa studi yang telah dilakukan terdapat teori bahwa patriarki lahir
sebelum kapitalisme. Karena ketidaknyamanan dan keresahan yang timbul di
kalangan perempuan, lahirlah gerakan feminis di Amerika pada decade 60-an.
Gerakan
itu juga ditandai dengan terbitnya buku
berjudul Feminist Mystiqe yang beredar tahun 1963 dan sangat laku
keras. Gerakan feminis lahir untuk menghentikan ketidakadilan dan eksploitasi
yang terjadi pada perempuan. Feminisme terus menjalar ke eropa hingga Australia,
sampai akhirnya menjadi gerakan global.
Sayangnya
feminisme bukanlah gerakan homogen yang dapat terfokuskan dengan baik. Dalam perkembanganya
feminisme berkembang menjadi pelbagai ideologi sosial dan terkadang saling
kontradiksi.
Diantaranya
terdapat feminisme liberal yang beranggapan ketidakadilan berasal dari
perempuan itu sendiri, kemudian feminisme radikal, dan feminisme sosialis
(marxis) serta eko-feminisme yang usung oleh Shiva. Mereka bergerak dengan
sumbu analisis yang berbeda–beda. Meski begitu, pada intinya akar dari semua
ini adalah menggeser paradigma sosial dan merubah status quo
maskulinitas.
Gerakan feminisme telah
menghasilkan banyak perhatian publik. PPB mengintruksikan untuk tidak ada
diskriminasi terhadap perempuan, sampai–sampai saat ini hampir setiap negara memiliki
UU anti-diskriminasi. Namun, kebebasan dan kemudahan yang telah diperoleh
kadang menimbulkan ketidakadilan baru.
Buruh
diperah seperti sapi untuk menghasilkan suplus value. Di sini buruh perempuan
mendapatkan masalahnya. Karena streotip terhadap prempuan yang dinilai memiliki
kualitas lebih rendah dibanding laki–laki, maka perempuan mendapat selain
diperah oleh pabrik, gaji mereka juga lebih murah dibanding gaji buruh laki-laki
dan kurang mendapatkan jaminan sosial di tempat kerja.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa
agama Islam menjadi salah satu sumber ketidakadilan sosial berbasis gender.
Terlebih bila berkaca pada tradisi Timur Tengah, Syeikh Nefzawi mengutarakan
perempuan ideal adalah
“perempuan yang jarang bicara atau ketawa, dia tidak pernah meninggalkan rumah, waulupun untuk menjenguk tetangganya atau sahabatnya, ia tidak memiliki teman perempuan, dan tidak percaya kepada siapa saja kecuali kepada suaminya… perempuan seperti itu adalah yang dihormati oleh semua orang” (H. 131).
Dalam
kasus tersebut kultur patriarki benar–benar ikut andil dalam melanggengkan
ketidakadilan gender. Tafsir Al-Quran juga dinilai seolah–olah menempatkan
perempuan dibawah laki–laki. Ali Engineer (1992) mengusulkan dalam memahami
ayat “laki – laki adalah pengelola atas perempuan” hendaknya dipahami secara
kontekstual sesuai zamannya. Pemahaman ini juga berimplikasi pada tingkat
keimanan dan kefasihan seseorang dalam memahami ajaran Al-Qur’an.
Terakhir,
feminisme yang terlihat lebih banyak diperjuangkan oleh perempuan sebenarnya
mengakomodasi kebutuhan semua gender. Paradigma dan stereotip yang melabeli
perempuan harus digeser dengan semangat transformasi sosial menggunakan sudut
padang analisis gender.
Ketidakadilan
akan terus langgeng bila perempuan tidak masuk ke tatanan struktural dan
fungsional dalam tatanan masyarakat. Di sisi lain mereka juga mendapat
tantangan dari anacaman maskulinitas yang didukung oleh agenda kapitalisme.
Judul : Analisis Gender dan Transformasi
Sosial
Penulis : Dr. Mansour Fakih
Penerbit :
Pustaka Pelajar
Tahun
terbit/Cetakan : 2013, Cetakan ke-15
Halaman : 186 halaman
Peresensi : Pebri Widianto (Founder
Literasi Millinials (@limilenials))